Ust.Muhammad Ali Lamu, Lc |
Sebagai contoh kasus, saat seseorang mengajar di sebuah sekolah dengan sungguh-sungguh, dengan maksud untuk mendapatkan gaji, maka dengan mudah saja seorang itu diberi lebel atau cap tidak ikhlas. Salah satu alasannya, adalah mesti ada furqan; antara mengajar dengan niat lillahi ta’ala dengan mengajar dengan niat mendapatkan gaji.
Contoh lainnya adalah saat seorang aktifis dakwah bekerja untuk melakukan rekruitmen, dengan maksud atau niat menambah jumlah pendukung dakwah, ada saja orang-orang tertentu yang menuduhnya tidak ikhlas, dengan alasan, amalnya tidak dilakukan dengan niat lillahi ta’ala.
Contoh lain lagi adalah saat seorang politisi muslim bekerja pada bidang politiknya dengan sungguh-sungguh, dengan maksud atau niat agar ia dapat mempertanggung jawabkan posisi dan kedudukannya kepada konstituen atau publik, sebagian orang serta merta memvonisnya dengan tidak ikhlas.
Sebagian lainnya mengatakan: “tidak ada lagi perbedaan antara politisi muslim dan politisi lainnya, kalau pun ada, ya .. beti lah”, maksudnya adalah perbedaannya hanya tipis sekali dan nyaris tidak terdapat perbedaan, atau bahkan komentar itu dimaksudkan untuk mengatakan: “sama saja”, hanya saja dengan cara menyindir.
Menurut yang saya pahami, Wallahu a’lam, pemahaman seperti tadi tidak selalu tepat, dengan alasan:
1. Justru yang dimaksud dengan furqan diantaranya adalah kemampuan seseorang untuk membedakan antara dua hal berbeda yang tampak sama, atau dua hal yang “beti” (beda tipis) sebagai dua hal yang berbeda, khususnya dalam hal-hal yang berkenaan dengan hati, seperti: ikhlas, tawakkal dan semacamnya. Ketidak mampuan seseorang dalam membedakan dua hal berbeda yang tampak sama, atau dua hal berbeda yang “beti” akan membawanya kepada su-ut-taqyim (buruk dalam penilaian), yang selanjutkan akan berdampak kepada kesalahan-kesalahan dalam bersikap dan bertindak. Masih mendingan kalau penilaian, sikap dan tindakan tersebut bersifat personal, repotnya, kalau penilaian, sikap dan tindakan tersebut bersikap kolektif dan organisatoris, maka tentunya dampak dan pengaruhnya akan semakin besar dan luas.
2. Orang-orang A’rab, sebagaimana disebut dalam Q.S. At-Taubah: 97, dikecam oleh Allah SWT dengan kecaman abadi. Diantara sebabnya adalah karena mereka tidak memiliki kemampuan membedakan hududa ma anzalaLlahu ‘ala rasulihi. Dan hal ini meledak dalam bentuk yang sangat besar di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib RA, di mana dari mereka muncul berbagai syubuhat yang pangkalnya adalah ketidak mampuan mereka dalam membedakan yang “beti-beti” ini. Lalu mereka mengelompok menjadi apa yang kemudian disebut sebagai “khawarij” misalnya, mereka tidak mampu membedakan antara perang yang dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib RA dalam menghadapi Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-Awwam dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum ajma’in dengan perang seorang imam kaum muslimin dalam menghadapi musuh. Dalam pandangan mereka, perang ya perang, dan karena dipimpin oleh imam kaum muslimin, berarti ia adalah jihad, tetapi kenapa perang Ali dalam menghadapi mereka –radhiyallahu anhum- tidak ada ghanimah¬-nya?!!
Akibat lebih lanjut dari ketidak mampuan mereka dalam membedakan yang “beti-beti” ini adalah tindakan mereka yang membunuh Ali bin Abi Thalib –radhiyallahu ‘anhu- dengan alasan ia telah mau bertahkim kepada selain Allah SWT, padahal Allah SWT berfirman: "tidak ada hukum kecuali kepada Allah SWT”. (Q.S. Al-An’am: 57) dan (Q.S. Yusuf: 40, 67).
3. Paling tidak, ada 4 istilah yang dipakai oleh Al-Qur’an yang mesti kita pahami dengan baik terkait masalah ini, yaitu:
a. Lillah atau liajlillah (karena Allah SWT)
b. Fillah atau fi sabilillah (dalam lingkup Allah SWT) atau (di jalan Allah SWT).
c. Ma’allah atau andadan (bersama Allah SWT) atau menjadikan selain Allah SWT sebagai “pesaing-pesaing” Allah SWT.
d. Min dunillah (tanpa Allah SWT, atau menempatkan Allah SWT lebih rendah daripada yang selain-Nya).
Penjelasan:
Bisa saja, atau dibenarkan seseorang melakukan suatu amal dengan maksud-maksud dan tujuan-tujuan tertentu, baik untuk kepentingan pribadinya, atau keluarganya, atau masyarakatnya, atau umatnya, atau untuk kemanusiaan, selama semua yang dilakukannya,termasuk niat dan maksudnya dalam lingkup lillahi ta’ala dalam arti tidak kontradiksi dengan maksud lillahi ta’ala, masih dalam lingkup fillah dan atau fi sabilillah (dalam jalan menuju Allah SWT).
Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh nabi Sulaima –álaihissalam- saat beliau bermaksud menggauli 60 istrinya dengan niat dan harapan agar masing-masing 60 istri itu hamil, lalu masing-masing mereka melahirkan seorang anak laki-laki, lalu, seluruh anak laki-laki tersebut di masa depannya menjadi seorang mujahid penunggang kuda fi sabilillah.
Di sini terlihat bahwa nabi Sulaiman –‘alaihissalam- mempunyai banyak maksud dan niat, namun, semua maksud dan niat tersebut masih dalam lingkup lillah, fillah dan atau fi sabilillah.
Begitu juga dengan aktifitas atau kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok atau organisasi, sangat mungkin ada banyak maksud dan niat dari tindakan dan perbuatan mereka yang sepintas lalu terlihat “tidak ikhlas”, namun, selama masih dalam lingkup lillah pada penghujungnya, dan atau fi sabilillah dan atau fillah, maka hal ini tidak bertolak belakang dengan keikhlasan. Wallahu a’lam.
Lain halnya kalau seseorang, atau kelompok, atau organisasi melakukan suatu tindakan atau perbuatan dengan niat dan maksud-maksud yang masuk dalam kategori ma’allah, dalam arti ada maksud lillah, tetapi juga ada maksud lain yang selevel dengan maksud lillah dan tidak dalam lingkup fillah dan atau fi sabilillah, maka orang atau kelompok atau organisasi tersebut telah menempatkan niat dan maksud lain selain niat dan maksud Allah SWT sebagai andadan (pesaing-pesaing), maka hal inilah yang disebut dengan istilah syirik yang secara harfiah berarti menyertakan niat dan maksud lain selain Allah SWT. Namun, sekali lagi, yang disebut syirik adalah manakala menjadikan selain Allah SWT dan menempatkannya sebagai andadan. Wallahu a’lam
Apatah lagi kalau seseorang, atau kelompok atau organisasi melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang masuk dalam kategori min dunillah, maksudnya adalah menempatkan Allah SWT dalam niat dan maksudnya di bawah maksud-maksud dan niat-niat lain.Dan lebih parah lagi tentunya kalau seseorang atau kelompok atau organisasi melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang sama sekali tidak ada maksud dan niat untuk Allah SWT sama sekali.
Dikutip dari : Ust. MUSYAFFA
Posting Komentar
Masukan komentar di kolom ini. Saran anda sangat bermanfaat.
Hari gini nggak ikut TARBIYAH, Kontak kami segera via email di : pksdonggala@yahoo.co.id atau sms ke (+62852410 71237)