BESAR
kecilnya tanggungjawab seseorang menjadi tanda kualitas syahadatnya,
yang dapat diukur pada caranya memanfaatkan waktu. Seorang yang
berkualitas selalu berusaha menumbuhsuburkan bibit syahadatnya agar
dapat terus ditingkatkan lebih tinggi lagi.
Tiada waktu tanpa
peningkatan kualitas syahadat. Tiada program kecuali peningkatan iman.
Tidak mati kecuali dalam puncak jenjang syahadat, pasrah diri kepada
Tuhan.
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu
kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah engkau mati
kecuali dalam Islam." (Q.S. Ali Imran : 102).
Rute
perjalanan yang harus dilalui untuk membuktikan syahadat bisa dikatakan
singkat, bisa juga panjang. Hal tersebut tergantung pada kadar
mujahadah, dukungan ibadah dan ukuran besar kecilnya tanggungjawab yang
dipikul.
Namun demikian, dibalik perbedaan jauh rute itu, ada
kesamaan irama dan ritme perjalanan. Jurang yang terjal, tebing yang
tinngi pasti ditemukan dalam perjalanan.
Bahkan dengan tegas Allah
merinci tikungan-tikungan tajam yang akan dilewati dalam perjalanan
proses uji coba penentuan peringkat kadar kualitas syahadat dengan
firman-Nya:
"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk
surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya : 'Bilakah datangnya
pertolongan Allah ?'. Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat
dekat." (Q.S. Al-Baqarah : 214).
Ada tiga tebing tinggi dan
jurang terjal yang harus dilewati sebelum seseorang sampai ke titik
kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah. Baik kenikmatan dunia apalagi
yang di akhirat.
Ketiga tebing dan jurang tersebut dialami oleh semua orang yang ingin menikmati surga, tak terkecuali Nabi dan Rasul Allah.
Sudah
merupakan garis ketentuan Allah, atau sudah menjadi sunnatullah, hukum
alam yang sudah pasti, bahwa untuk mencapai keadaan yang ideal
diperlukan proses yang tidak ringan.
"Sebagai sunnah Allah
yang berlaku atas orang terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali
tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 62).
Andaikan
para Nabi dan Rasul mengetahui jalan mulus menuju surga tanpa mengalami
hambatan dan rintangan yang serba menyulitkan, tanpa malapetaka dan
ujian, tanpa kesengsaraan dan kemiskinan, maka mereka tentu akan memilih
jalan itu. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu.
Semua Nabi
dan Rasul mengalami nasib yang sama, menempuh rute perjalanan dengan
ritme dan irama yang sama. Mereka menderita, selalu ditimpa malapetaka,
ditimpa kemelaratan yang tiada tara, juga dihantui oleh perasaan yang
serba takut.
Hanya imanlah yang memberikan kemampuan pada mereka untuk tetap berjalan dalam rel yang sudah ditentukan.
Bukan hanya itu, segala cobaan yang datangnya dari Allah mampu
dimanfaatkan untuk mempertebal keimanan, bukan sebaliknya melemahkan
iman.
Syahadat memang memerlukan proses pembajaan. Dan proses
pembajaan yang baik hanyalah melewati berbagai kesulitan, karena sesudah
kesulitan itulah akan muncul kemudahan. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan." (Q.S. Al-Insyirah : 5-6).
Bila Malapetaka Datang
Malapetaka merupakan suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan,
datang dengan tiba-tiba di luar perkiraan, dan tanpa persiapan sama
sekali. Bila kurang waspada keadaan tersebut bisa berakibat sangat
fatal. Bisa jadi peristiwa yang tiba-tiba itu membuat gairah jihad
berkurang, ghirrah dan semangat juang menurun tajam.
Bahkan
kadang begitu emosional menuduh dan mencap banyak pihak sebagai biang
keladinya. Atau sebaliknya, menganggap hal tersebut sebagai taqdir yang
wajar-wajar saja, tidak perlu dicari hikmah dan maknanya. Sangat
disayangkan bila kondisi seperti itu tidak dimanfaatkan untuk meraih
berbagai keuntungan.
Petaka yang menimpa kaum muslimin
sebenarnya hanyalah ujian atau mungkin peringatan karena kasih sayang
Tuhan. Bagi seorang pejuang kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan
minimal untuk konsolidasi organisasi, pengkristalan kekuatan, dan
penyusunan ulang barisan yang lebih rapi, serta upaya koreksi ke dalam
untuk perbaikan kebijaksanaan di masa mendatang.
Peristiwa itu
patut dijadikan sebagai sentakan teguran, untuk terciptanya semangat dan
motivasi baru yang lebih merangsang, lebih mendorong berbuat yang lebih
baik.
Karena datangnya serba mendadak, wajar kalau membuat suatu kegoncangan. Nabi sendiri mengalami peristiwa itu.
Ketika kaum musyrikin Quraisy mencapai puncak kemarahannya, ketika
Nabi menggantungkan diri pada perlindungan paman dan isterinya, pada
saat itu keduanya diambil oleh Allah, mati. Saat itu jiwa Nabi
betul-betul terguncang, sehingga tersebut tahun itu sebagai 'Amul Khuzn', tahun duka.
Boleh-boleh
saja kita oleng karena badai dan ombak mengamuk begitu kuat. Tapi
bagaimanapun kita tiak boleh sampai tersungkur jatuh atau kembali ke
tepian. Di sinilah diperlukan seorang nahkoda yang cukup lihai
mengemudikan kapal. Dibutuhkan seni kepemimpinan yang cukup handal.
Peristiwa
seperti ini tak bisa dihindari. Pasti akan dialami oleh setiap orang
yang hendak meningkatkan kualitas syahadatnya. Utamanya mereka yang
menjadi pioner dan perintis perjuangan.
Dengan demikian harus
disiapsiagakan diri menerima kemungkinan tersebut sebagai sesuatu yang
bisa memberi manfaat bila diupayakan dengan baik. Sebab ia juga
sekaligus berfungsi sebagai proses pematangan syahadat.
Melalui peristiwa ini akan terseleksi apakah mereka masih bersangka
baik kepada Allah SWT, atau malah menuduh Allah dengan berbagai macam
dakwaan?
Kematian kedua tumpuan Nabi, paman sekaligus isteri beliau
secara beruntun adalah teguran dan peringatan Allah bahwa tak sepatutnya
beliau bergantung pada keduanya.
Peristiwa itu sesungguhnya
pelajaran bagi Nabi bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dirinya,
bukan karena kepiawaian pamannya, juga bukan karena kebangsawanan
isterinya.
Melalui peristiwa pahit ini kita rasakan sendiri
peringkat kadar kualitas syahadat yang kita miliki. Justru pada saat
malapetaka itu datang, betapapun kecilnya, saat itulah kita bisa
melakukan evaluasi. Itu tidak berarti kita kemudian mencari-cari
malapetaka, sebab kalau demikian maknanya bisa lain, dan hasinyapun juga
berbeda. Merencanakan serta mengundang malapetaka bisa bermakna
menganiaya diri sendiri.
"Dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-Baqarah : 195).
Keberhasilan
untuk tetap stabil dan normal di dalam menerima sentakan yang seperti
itu adalah wujud kemampuan memperlihatkan mutu kadar kualitas syahadat.
Perlu keluwesan untuk tidak terlalu kaku memahami ungkapan ini, sebab bisa saja malapetaka tersebut sifatnya tidak langsung.
Mungkin
saja berbentuk kegagalan secara total beberapa target yang serius
dikejar, atau kemacetan urusan setelah menelan tidak sedikit biaya dan
tenaga, atau berupa peristiwa yang mengganggu serta merusak program yang
sementara berjalan dengan baik.
Perlu diingat, malapetaka itu
bentuknya sentakan, tidak terus-menerus. Peristiwa ini sesungguhnya
hanya bersifat teguran peringatan, atau uji coba penjajakan, disamping
upaya pemantapan syahadat. Sejauh mana seseorang itu bisa berprasangka
baik kepada Allah SWT.
Itulah sebabnya terkadang terasa
timbangannya demikian berat, sehingga seseorang dibuatnya kehilangan
kendali. Peristiwanya bisa saja sejenak, tetapi pengaruh dan dampaknya
yang lama dan berlarut-larut. Kalau kurang kontrol bisa mengundang
malapetaka baru yang berkelanjutan.
Padahal andaikan kita mampu
memahami apa arti setiap malapetaka yang datang, bisa saja malapetaka
itu dijinakkan dan ditekan efeknya seminimal mungkin, sehingga tetap
bisa dipetik manfaatnya.
Yang pasti, malapetaka ini sulit untuk
dihindari sama sekali, sebab sudah semacam keharusan yang mengiringi
keberadaan syahadat. Selama irama dan ritme perjalanannya mengarah ke
depan, menuju sasaran dermaga yang telah ditentukan, bagaimanapun
hati-hatinya pasti akan berhadapan dengan batu karang yang menghadang.
Bertemu dengan ombak dan gelombang yang mengganggu, serta angin topan
yang mengancam.
Beberapa kemungkinan bisa terjadi, entah kemudi
yang patah, layar yang robek, petugas yang lalai, peralatan yang jatuh,
perbekalan yang habis, atau kerusakan-kerusakan yang lain. Adanya
persiapan menghadapi kemungkinan itu tentu akan menghasilkan akibat yang
sangat berbeda dibanding tanpa persiapan sama sekali.
Ketiadaan
persiapan akan menjadikan kepanikan dan kalang kabut begitu malapetaka
datang. Akibatnya petaka lain akan terundang beruntun, karena fikiran
tidak berfungsi dan hanya emosi yang dominan.
Dengan modal
syahadat yang berintikan keyakinan, serta kesadaran akan realitas diri
yang sudah dilengkapi oleh Allah berbagai instrumen dan peralatan yang
memadai dalam menghadapi setiap malapetaka, hati pasti menjadi tenang.
Dan satu lagi yang pasti, Allah selalu siap menolong hamba-Nya yang
memerlukan.
Yang perlu kita sadari bahwa inilah resiko yang
menjadi saksi nyata akan eksisnya sebuah Syahadat. Adapun selanjutnya
bagaimana menghadapi setiap resiko, adalah soal seni, soal taktik, soal
gaya, soal format perwatakan, soal kematangan pribadi, soal pengalaman.
Semuanya cukup mempengaruhi reaksi spontan terhadap setiap resiko yang terpaksa harus kita terima apa adanya.
Yang
penting bahwa kita bisa memperoleh manfaat, setidak-tidaknya menjadikan
diri ini sadar sepenuhnya akan keterbatasan kita, kemudian mengakui
bahwasanya kekuasaan itu sepenuhnya di tangan Allah SWT. Dengan demikian
datangnya malapetaka berarti kesempatan dan media untuk meningkatkan
kualitas Syahadat. */ (Bersambung)
KH. Abdullah Said, penulis adalah pendiri Pesantren Hidayatullah